ibu
IBU
Sejak
dokter mengabarkan akan kehamilan pada diri seorang ibu dia langsung merasa
senang, nikmat dan karuniah yang tiada tara kini ia peroleh. Linangan air mata
bahkan mengiringi kebahagiaan itu. Semua yang dilakukannya kini serba hati-hati
karena meski tidak terlihat, seorang Ibu terus menjaga buah hatinya yang masih
dalam kandungan. Hari-hari yang melelahkan selama Sembilan bulan dilaluinya
bukan hanya perubahan fisik yang beliau alami tapi juga perubahan psikis yang
tak terbayangkan.
Puncak
waktu Sembilan bulan itu adalah tat kala akan melahirkan kita, betapa banyak
syaraf-syaraf dalam dirinya putus demi keluarnya kita ke dunia ini, kematian
begitu dekat dengannya namun dengan tekadnya yang kuat untuk melihat buah hati
yang selama Sembilan bulan ia tenteng, akhirnya beliau dapat melaluinya dan dapat
melihat wajah kita yang masih berlumuran darah itu, dengan masih menahan sakit,
dengan air mata bahagia yang membasahi pipinya, beliau mencoba sedikit tersenyum
melihat kita yang tak hentinya menangis. Beliau bersyukur karena tidak semua
ibu dapat melalui proses itu, ada ibu yang justru tak dapat melihat anaknya dan
justru terpisah untuk selama-lamanya dalam proses persalinan itu.
Ketika
lahir didunia ini beliau tidak berenti merawat kita, bak pelayan yang tak ada
capeknya kepenatan demi kesehatan kita, kegelisahan demi kebahagian kita, dia
mengasuh kita hingga dewasa seperti saat ini. Malam ketika kita terbangun dia
pun terbangun untuk menidurkan kita. Tak pernah mengeluh merawat kita meski
malam-malamnya diisi dengan kantuk dan perasaan lelah. Dan Jika kita mau
menghitung dan mencoba ingin membayar semua kasih sayang dan pengorbanan
seorang ibu kepada kita niscaya tak mungkin dapat kita bayar, bahkan setetes
air susunya, sedetik bangun malamnya pun tak akan mungkin terbalaskan oleh
apapun.
Ingatkah
kita ketika kita membantah perintahnya, ingat kah kita tatkala kita membuatnya
marah, beliau tidak membiarkan kita dengan kesalahan itu, seorang ibu mencoba
menasehati kita degan berbagai cara, dia tidak ingin melihat kita rusak dengan
kebebasan yang kita inginkan, betapa sunguh ia menyayangi kita.
Perjalanan
tahun akan menumbuhkan uban di kepalanya, perjalanan hari akan mempersingkat
waktu pertemuan kita padanya maka dari itu takutlah untuk durhaka padanya, jika
bukan beliau yang meninggalkan kita terlebih dahulu, maka kita yang justru akan
meninggalkannya telebih dahulu. Yang pasti adalah perpisahan itu pasti akan
terjadi, sunnatullah yang tak terelakan.
Sekarang,
sudah cukupkah kita berbakti padanya?, sudah bisakah kita membalas kepenatannya
yang terdahulu dengan kebahagiaan?, sudah pernahkah kita membuat jeritannya
saat melahirkan kita dahulu dengan kepatuhan, dan bakti padanya?, atau justru
sekarang kita masih saja menyakitinya dengan tingkah laku, sikap dan dengan
perkataan kita. Ingatlhah perpisahan yang pasti akan terjadi itu….
Comments
Post a Comment