makalah tentang ibnu al haitham
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fisika dan Ibnu Al Haitham
Fisika berasal dari bahasa Yunani: φυσικός (fysikós), yang berarti "alamiah", dan φύσις (fýsis), "alam" yang merupakan sains atau ilmu
tentang alam dalam makna yang terluas. Fisika
mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang dan waktu. Para fisikawan atau
ahli fisika mempelajari perilaku dan sifat materi dalam bidang yang sangat
beragam, mulai dari partikel submikroskopis yang membentuk segala materi
(fisika partikel) hingga perilaku materi alam semesta sebagai satu kesatuan kosmos.
Beberapa sifat yang
dipelajari dalam fisika merupakan sifat yang ada dalam semua sistem materi yang
ada, seperti hukum kekekalan
energi. Sifat semacam ini sering disebut sebagai hukum fisika.
Fisika sering disebut sebagai "ilmu paling mendasar", karena setiap
ilmu alam lainnya (biologi, kimia,geologi,
dan lain-lain) mempelajari jenis sistem materi tertentu yang mematuhi hukum
fisika. Misalnya, kimia adalah ilmu tentang molekul dan zat kimia yang dibentuknya. Sifat
suatu zat kimia ditentukan oleh sifat molekul yang membentuknya, yang dapat
dijelaskan oleh ilmu fisika seperti mekanika
kuantum, termodinamika,
dan elektromagnetika
Salah satu kajian
klasik dari fisika adalah optik, pembicaraan tentang optik tidak pernah lepas
dari pengaruh salah satu tokoh besar yang bernama Abu Ali Muhammad al-Hassan
ibnu al-Haitham. Ibnu Haitham (Basra,965
- Kairo
1039), dikenal dalam
kalangan cerdik pandai di Barat, dengan nama Alhazen, yaitu seorang ilmuwan
Islam
yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ia banyak pula melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan
telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler dalam
menciptakan mikroskop
serta teleskop.
Fisika juga berkaitan
erat dengan matematika.
Teori
fisika banyak dinyatakan dalam notasi matematis, dan matematika yang digunakan
biasanya lebih rumit daripada matematika yang digunakan dalam bidang sains
lainnya. Perbedaan antara fisika dan matematika adalah: fisika berkaitan dengan
pemerian dunia material, sedangkan matematika berkaitan dengan pola-pola
abstrak yang tak selalu berhubungan dengan dunia material. Namun, perbedaan ini
tidak selalu tampak jelas. Ada wilayah luas penelitan yang beririsan antara fisika
dan matematika, yakni fisika matematis, yang mengembangkan struktur matematis
bagi teori-teori fisika. Dan Ibnu Al Haitham juga merupakan ahli ilmu Falaq dan
matematika yang handal.
B.
Teori-Teori Ibnu Al Haitham
Sejarah
mencatat salah
satu peletak dasar
ilmu fisika optik adalah sarjana Islam Ibnu-al-Haitham atau yang dikenal
dibarat dengan sebutan Alhazen, Avennathan atau Avenetan. Ilmuwan besar yang
punya nama lengkap Abu Ali al-Hasan Ibnu al Haitham al-Basri al-Misri ini lahir
di Basrah, Irak pada 965 M. Mengecap pendidikan di Basrah dan Baghdad,
penguasaan matematikanya oleh Maz Mayerhof, seorang sejarawan dianggap
mengungguli Euclides dan Ptolemeus.
Setelah selesai di kedua kota itu,
Ibnu Haitham meneruskan pendidikannya di Mesir dan bekerja dibawah pemerintahan
Khalifah al-Hakim (996-1020 M) dari Daulah Fatimiyah. Ia pun mengunjungi
Spanyol untuk melengkapi beberapa karya ilmiahnya. Seperti sarjana Islam
lainnya, Ibnu Haitham atau Alhazen tidak hanya mengiasai fisika, ilmu optik,
namun juga filsafat, matematika, dan obat-obatan atau farmakologi. Tidak kurang
dari 200 karya ilmiah mengenai berbagai bidang itu dihasilkan Ibnu Haitham
sepanjang hidupnya.
Karya utamanya adalah tentang optik,
yang mana naskah aslinya dalam bahasa Arab telah hilang, namun terjemahannya
dalam bahasa latin masih ditemukan. Ibnu Haitham mengoreksi konsep Ptolemeus dan Euclides tentang penglihatan. Menurut kedua
ilmuwan Yunani itu dijelaskan bahwa mata mengirimkan berkas-berkas
cahaya visual ke objek penglihatan sehingga
sebuah benda dapat terlihat. Sebaliknya, menurut Ibnu Haitham, retinalah
pusat penglihatan dan benda bisa terlihat karena memantulkan cahaya pada retina
dibawa ke otak melalui saraf-saraf optik.
Kepandaian matematis dari Ibnu
Haitham terbukti ketika ia dengan sangat akurat menghitung ketinggian atmosfer
bunmi yaitu 58,5 mil. Dalam karyanya Mizanul Hikmah, Ibnu Haitham banyak
mengurai tentang masalah atmosfer ini, terutama berkaitan hubungan ketinggian
atmosfer dengan meningkatnya kepadatan udara. Secara eksperimental, ia berhasil
menguji berat benda
yang meningkat dalam proporsinya pada kepadatan atmosfer yang bertambah.
Ia juga membicarakan masalah yang
berhubungan dengan pusat daya tarik bumi. Jauh sebelum Newton membahas
masalah gravitasi, Ibnu Haitham telah
membahasnya dan menjadikan pengetahuan tentang gravitasi itu untuk penyelidikan
tentang keseimbangan dan alat-alat timbangan. Dalam kaitan itu pula, beliau
mengurai dengan jelas hubungan antara daya tarik bumi dengan pusat suspensi.
Penjelasannya mengenai hubungan antara kecepatan, ruang dan saat jatuhnya
benda-benda diyakini menjadi ilham bagi Newton untuk mengembangkan teori
gravitasi.
Selain masalah cahaya dan atmosfer,
Ibnu Haitham juga banyak
melakukan eksperimen mengenai camera obscura atau metode kamar gelap,
gerak rektilinear cahaya, sifat bayangan, penggunaan lensa, dan beberapa
fenomena optikal lainnya. Metode kamar gelap atau camera obscura dilakukan
beliau saat gerhana bulan terjadi. Ketika itu beliau mengintip citra matahari
yang setengah bulat pada sebuah dinding yang berhadapan dengan sebuah lubang
kecil yang dibuat pada tirai penutup jendela.
Untuk semua eksperimen lensa, Ibnu
Haitham membuat sendiri lensa dan cermin cekung melalui mesin bubut yang
dimilikinya. Eksperimennya yang tergolong berhasil saat beliau menemukan titik
fokus sebagai tempat pembakaran terbaik. Saat itu, beliau berhasil mengawinkan
cermin-cermin bulat dan parabola. Semua sinar yang masuk dikonsentrasikan pada
sebuah titik fokus sehingga menjadi titik bakar.
Buku beliau tentang optik, Kitab
al-Manazir diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh F. Risner dan
diterbitkan di Basle pada 1572 M. Karyanya ini bersama karya-karya optik
lainnya sangat mempengaruhi ilmuwan abad pertengahan seperti Roger Bacon, Johannes
Keppler, dan Pol Witello. Diyakini, banyak karya-karya monumental dari mereka
diilhami dari hasil eksperimen yang dilakukan Alhazen atau Ibnu
Haitham.
Menurut Philip K. Hitti,
tulisan-tulisannya mengenai berbagai persoalan optik membuka jalan bagi para
peneliti optik Barat di kemudian hari mengembangkan disiplin ilmu ini secara
lebih luas. Semua kerya-karya itu diterjemahkan kedalam bahasa Eropa, termasuk
Rusia dan Ibrani. Sejarawan terkemuka Amerika, George Sarton mengumpulkan
karya-karya Ibnu Haitham dalam bukunya Introduction to Study of Science yang
menjadi bacaan wajib
bagi mereka yang mencintai ilmu. (R. A. Gunadi,
2002)
Penemuan Ibnu Haitham di bidang
teknologi khususnya dalam bidang optik ini mengingatkan masyarakat muslim
sekarang bahwa orang muslim sejatinya adalah orang-orang yang sangan pintar.
Tapi kenapa pada saat ini orang muslim seakan tertinggal dari orang non muslim,
padahal yang menemukan alat-alat atau teori-teori yang sekarang dipakai pedoman
bagi orang-orang non muslim sendiri dulunya adalah teori orang-orang muslim, seperti Ibnu
Haitham yang sedang dibahas sekarang ini.
Ibnu
Al Haitham merupakan orang pertama yang mendapatkan gambaran yang cukup mendetail
tentang mata manusia. Nama-nama dari bagian mata kita berasal dari terjemahan
Ibnu Al Haitham, misalnya retina, kornea, dan lain-lain dari bahasa arab.
Segala
teori dan prakteknya dalam fisika ternyata sesuai dengan perkembangan ilmu
fisika modern dewasa ini. Sehubungan dengan itu, Ibnu Al Haitham diakui sebagai
“peletak dasar ilmu modern”. Selain sebagai ilmuwan besar, ternyata ia juga
merupakan ulama yang berakhlak tinggi. Ia pernah mengatakan: “hidup manusia
tidak akan memperoleh sesuatu yang lebih mendekatkan dirinya kepada Allah
selain dari kebenaran dan ilmu pengetahuan”. Ia juga pernah mengatakan “Berikan
jasamu kepada kenalanmu. Berikan Pengetahuanmu kepada yang bersedia
menerimanya. Pertahankan kehormatan dirimu dan agamamu”.
Ibnu
Haitham membuktikan pandangannya apabila beliau begitu bergairah mencari dan mendalami
ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Sehingga kini beliau berhasil menulis
banyak buku dan makalah. Di antara buku hasil karyanya antara lain:
- Al'Jami'
fi Usul al'Hisab yang mengandung teori-teori ilmu metametik dan metametik
penganalisaannya;
- Kitab
al-Tahlil wa al'Tarkib mengenai ilmu geometri;
- Kitab
Tahlil ai'masa^il al 'Adadiyah tentang algebra;
- Maqalah
fi Istikhraj Simat al'Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat bagi
segenap rantau;
- M.aqalah
fima Tad'u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak
dan
- Risalah
fi Sina'at al-Syi'r mengenai teknik penulisan puisi.
Sumbangan Ibnu Haitham kepada ilmu sains dan filsafat amat banyak. Kerana
itulah Ibnu Haitham dikenali sebagai seorang yang miskin dari segi material
tetapi kaya dengan ilmu pengetahuan. Beberapa pandangan dan pendapatnya masih
relevan hingga saat ini.
Walau bagaimanapun, sebaagian karyanya lagi telah "dicuri" oleh
ilmuwan Barat tanpa memberikan penghargaan yang patut kepada beliau. Tapi
sesungguhnya, barat patut berterima kasih kepada Ibnu Haitham dan para sarjana
Islam karena tanpa mereka kemungkinan dunia Eropa masih diselubungi
kegelapan.
Kajian Ibnu Haitham telah menyediakan landasan kepada perkembangan ilmu
sains dan pada masa yang sama tulisannya mengenai falsafah telah membuktikan
keaslian pemikiran sarjana Islam dalam bidang ilmu tersebut yang tidak lagi
terbelenggu oleh pemikiran filsafat Yunani.
C. Latar Belakang Munculnya Teori-Teori Ibnu Al Haitham
Ibnu Al Haitham
merupakan ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai
cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan
Kepler menciptakan mikroskop serta teleskop. Ia merupakan orang pertama yang
menulis dan menemukan berbagai data penting mengenai cahaya. Beberapa buah buku
mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
antara lain Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak
membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari
serta bayang-bayang dan gerhana. Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula
apabila matahari berada di garis 19 derajat di ufuk timur. Warna merah pada
senja pula akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat.
Dalam kajiannya, beliau juga telah berhasil menghasilkan kedudukan cahaya
seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Ibnu Haitham
juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar, dan dari situ
ditemukanlah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para ilmuwan
di Italia untuk menghasilkan kaca pembesar yang pertama di dunia.
Yang lebih
menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemukan prinsip isi padu udara sebelum seorang
ilmuwan yang bernama Trricella yang mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian.
Ibnu Haitham juga telah menemukan kewujudan tarikan gravitasi sebelum Issaac
Newton mengetahuinya. Selain itu, teori Ibnu Haitham mengenai jiwa manusia
sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur telah
memberikan ilham kepada ilmuwan barat untuk menghasilkan wayang gambar. Teori
beliau telah membawa kepada penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung
dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada masa
kini.
Semua
teori-teori, dan hasil penemuan Ibnu Al Haitham tidak lahir dengan begitu saja
namun lahir dari usaha keras dan giat serta pantang menyerah. Ada banyak faktor
yang melatar belakangi sehingga ibnu Al khatiham dapat menemukan teori-teori
diatas diantaranya adalah
1. Seorang
Ibnu Al Haitham adalah seorang muslim yang taat dan merupakan ulama besar yang
mengetahui tentang ajaran islam, serta memahami betul esensi dari ilmu
pengetahuan menurut agama islam. Hal ini memberikan motivasi bagi seorang Ibnu
Al Haitham untuk mengkaji dan memahami ilmu pengetahuan terkhusus pada ilmu fisika, tujuan dari hal
itu tak lain adalah demi mendekatkan diri kepada Allah SWT serta mendapatkan
ridhaNya.
2. Latar
belakang keluarga Ibnu Al Haitham yang berasal dari golongan miskin namun
memiliki keinginan dan tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikannya di Al
Azhar, sehingga untuk mendapatkan uang
untuk melanjutkan pendidikan, seorang Ibnu Al Haitham menulis beberapa karya
ilmiah yag dapat menghasilkan uang.
3. Lokasi
tempat tinggal Ibnu Al Haitham yang tinggal disekitar sungai nil menjadikannya
untuk berpikir kritis seputar sungai nil seperti mengamati/meneliti tentang
aliran sungai nil, pembiasan yang terjadi di sungai nil, dan sebagainya.
4. Dukungan
dari keluarga yang menyebabkan Ibnu Al Haitham selalu termotivasi untuk
melakukan penelitian dengan baik
5. Faktor
internal lain yang menyebabkan keberhasilan dari seorang Ibnu Al Haitham adalah
kemampuannya yang tinggi terhadap ilmu falaq atau ilmu matematika, sehingga
mempermudah dirinya dalam menurunkan dan menjabarkan hipotesisnya dalam bentuk
persamaan.
D. Fenomena Sosial
yang Mengiringi Teori-Teori Ibnu Al Haitham
Ibnu Al Haitham adalah ilmuwan
muslim yang lahir pada periode klasik pemerintahan islam sehingga
fenomena-fenomena sosial masyarakat klasik sangat memengaruhi teori-teori
seorang ibnu al Haitham, fenomena-fenomena sosial itu berupa:
1.
Kejayaan dinasti Abbasiyah
Ibnu Al Haitham hidup pada masa dinasti abbasiyah, dinasti
yang sempat mengalami kejayaan dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang
pendidikan. Salah satu fenomena yang mendukung teori-teori ibnu Al Haitham
adalah dinasti Abbasiyah ini, Pada masa pemerintahan Bani Abbas,
pendidikan dan pengajaran mengalami kemajuan yang sangat gemilang.
Pada masa itu prioritas umat islam adalah mampu
membaca dan menulis, pada masa ini pendidiakan dan pengajaran diselenggarakan
dirumah-rumah penduduk dan ditempat-tempat umum lainnya misalnya Muktab.
Menurut
keterangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar
dipergunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar, kurikulum
pendidikan pendidikan pada tingkat dasar terdiri dari pelajaran membaca,
menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar matematika dan pelajaran
syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran tafsir Al -
Qur’an pembahasan kandungan Al - Qur’an, Sunah Nabi, Fiqih, dan Ushul Fiqh,
kajian ilmu kalam (teologi), ilmu Mantiq (retorika) dan kesustraan, pada
pelajaran tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri dibidang
astronomi, fisika, geografi dunia, filsafat, geometri, musikdan kedokteran.
Dinasti
bani Abbasiyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih, merupakan salah satu
dinasti islam yang sangat peduli didalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan
dan peradaban islam. Bani Abbasiyah telah menyiapkan segalanya, diantara
fasilitas yang diberikan adalah pembangunan pusat riset dan buku-buku terjemah.
Para ilmuwan digaji sangat tinggi dan kebutuhan hidupnya dijamin oleh Negara.
Bahkan khalifah Bani Abbasiyah meminta siapa saja termasuk para pejabat dan
tentara untuk mencari naskah-naskah yang berisi ilmu pengetahuan dan peradaban
untuk dibeli dan diterjemahkan menjadi bahasa arab.
2.
Digerakkannya kegiatan penerjemahan
Meski
kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak Daulah Umayyah, upaya untuk
menerjemahkan dan menskrinsip berbahasa asing terutama bahasa yunani dan Persia
ke dalam bahasa arab mengalami masa keemasan pada masa Daulah Abbasiyah (masa
hidupnya seorang Ibnu Al Haitham). Para ilmuwan diutus ke daeah Bizantium untuk
mencari naskah-naskah yunanidalam berbagai ilmu terutama filsafat dan
kedokteran.
Pelopor
gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan daulah Abbasiyah adalah Khalifah
Al-Mansyur yang juga membangun Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah
yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran.
Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan.
Dalam masa keemasan, karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu
pragmatis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga
diterjemahkan namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerpen dan sejarah jarang
diterjemakan karena bidang ini dianggap kurang bermanfa’at dan dalam hal
bahasa, arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju.
Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama,
pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua
berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun
300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pada
masa ini, ada yang namanya Baitul hikmah yaitu perpustakaan yang berfungsi
sebagai pusat pengembagan ilmu pengetahuan. Pada masa harun ar-rasyid diganti
nama menjadi Khizanahal-Hikmah (Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai
perpustakaan dan pusat penelitian. Pada masa al-ma’mun ia dikembangkan dan
diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah, yang dipergunakan secara lebih maju
yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia,
Bizantium, dan bahkan dari Ethiopia dan India. Direktur perpustakaannya seorang
nasionalis Persia, Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan Al-Ma’mun, lembaga ini
sebagai perpustakaan juga sebagai pusat kegiatan study dan riset astronomi dan
matematika.
Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama
di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan
sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari
sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani,
yang dikenal di Eropa
dengan nama Al-Faragnus,
menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
oleh Gerard Cremona
dan Johannes Hispalensis.
Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi
dan Ibnu Sina.
Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina
yang juga seorang filosof
berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya
adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.
3.
Adanya paham dan sistem sosial yang
mendorong kegiatan Ibnu Al Haitham
Pada masa Ibnu Al Haitham terdapat
beberapa paham dan sistem sosial yang dapat mendukung kegiatan-kegiatannya. Paham
dan sistem sosial ini mendukung dan mendorong masyarak pada masa itu untuk
mengembangkan dan mengetahui ilmu pengetahuan termasuk pengetahuan dari barat.
Beberapa paham dan sistem sosial yang ada pada masa itu juga merupakan salah
satu peran perubahan yang diusung oleh pemimpin dimasa itu yaitu dinasti Abbassiyah.
Adapun beberapa paham dan sistem sosial yang mendukung ilmu pengetahuan adalah
sebagai berikut:
a. Ilmu
pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang
harus dikembangkan.
b. Kebebasan
berpikir sebagai hak asasi manusia. Yang menyebabkan kaum intelek yang kritis akan dapat
mengembangkan pengetahuannya secara lebih maksimal termasuk seorang tokoh besar
yang bernama Ibnu Al Haitham
c. Tampilnya
kelompok mawali dalam pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam
kedudukan sosial. Dengan ini prinsip kesetaraan telah diakui dan berbeda dengan
masa sebelumnya yang belum mengakui kesetaraan ini, secara otomatis Ibnu Al Haitham
yang berasal dari basrah juga mendapatkan tempat yang sama dimata Negara.
d. Perkawinan
campur yang melahirkan darah campuran dan terjadinya pertukaran pendapat,
sehingga muncul kebudayaan baru . hal ini telah membuktikan bahwa masyarakat
pada masa Ibnu Al Haitham telah meninggalkan pakem budaya lamanya yang terlalu
kaku dan telah bersifat terbuka demi kemajuan ilmu pengetahuan. Selain itu
danya pertukaran pendapat antar waga Negara pada masa itu menyebabkan ilmu
pengetahuan berkembang pesat.
Maktab/Kuttab dan masjid
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar
bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu
agama, seperti tafsir, hadits, fiqhi dan bahasa, yang semakin banyak pada masa
itu hal ini memungkinkan seorang Ibnu Al Haitham untuk mengembangkan pengetahuaanya melalui
tempat-tempat tersebut.
5.
Tingkat
pendalaman
Pada masa itu tingkat pendalaman para pelajar yang
ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang
atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang
dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau
di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa
berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama
ahli ke sana. Akibat hal ini pula-lah yang menyebabkan dorongan dan
keberhasilan kepada Ibnu Al Haitham untuk melanjutkan pendidikannya ke mesir Al
Azahar hingga ke spanyol.
E. Peranan
Ibnu Al Haitham dalam Perkembangan Fisika Optik
Ibnu Al Haitham
telah memberikan pendekatan yang cukup akurat tentan optik khususnya tentang
mata, yang telah mengiilhami ilmuwan-ilmuwan setelahnya dalam mengembangkan
fisika optik, catatan sejarah yang telah di torehkannya telah memberikan
pemahaman-pemahan awal tentang optik. Berikut perkembangan-perkembangan fisika
optik oleh imuan-ilmuwan lain dari masa ke-masa yang merupakan kelanjutan dari
hasil penelitian yang telah dicetuskan oleh seorang ibnu Al Haitham.
a. Optika Pada Abad
ke-17
1. Tycho Brahe
Tycho Brahe (1546 M - 1601 M) adalah
seorang bangsawan Denmark yang
terkenal sebagai astronom/astrolog dan kimiawan. Ia
memiliki sebuah observatorium yang dinamai Uraniborg, di Pulau Hven. Tycho adalah astronom pengamat paling
menonjol di zaman pra-teleskop. Akurasi pengamatannya pada posisi bintang dan planet tak
tertandingi pada zaman itu. Untuk penerbitan
karyanya, Tycho memiliki mesin cetak dan pabrik kertas. Asistennya yang paling terkenal adalah Johannes Kepler.
Johannes Kepler (1571 M - 1630 M), seorang tokoh penting dalam revolusi ilmiah, ia
adalah seorang astronom Jerman, matematikawan dan astrolog. Ia paling dikenal melalui hukum gerakan
planetnya. Kepler sangat
dihargai bukan hanya dalam bidang matematika, tetapi juga di bidang optik dan
astronomi. Penjelasan Kepler tentang pembiasan cahaya tertuang dalam
buku Supplement to Witelo, Expounding the Optikal Part of Astronomy
(Suplemen untuk Witelo, Menjabarkan Bagian Optik dari Astronomi). Buku Kepler
itu adalah tonggak sejarah di bidang optik. Ia adalah orang pertama yang
menjelaskan cara kerja mata. Karya Kepler yang lain berupa buku Mysterium cosmographicum (Misteri Kosmmografis), Astronomiae Pars Optika (Bagian Optik dari Astronomi),
De Stella nova in pede Serpentarii (Tentang Bintang Baru di Kaki
Ophiuchus), Astronomia nova (Astronomi Baru),
Dioptrice (Dioptre), Epitome astronomiae Copernicanae
(diterbitkan dalam tiga bagian dari 1618-1621), Harmonice
Mundi (Keharmonisan Dunia), Tabulae Rudolphinae (Tabel-Tabel Rudolphine), dan Somnium
(Mimpi).
3.
Galileo
Galilei
Galileo Galilei (1564 M - 1642 M) adalah seorang astronom, filsuf, dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam revolusi ilmiah.
Sumbangannya dalam keilmuwan antara lain adalah penyempurnaan teleskop (dengan
32x pembesaran) dan berbagai observasi astronomi seperti
menemukan satelit alami Jupiter -Io, Europa, Ganymede, dan Callisto- pada 7
Januari 1610. Buku karangannya adalah Dialogo sopra i due massimi sistemi
del mondo yang kemudian diterbitkan di Florence pada 1632, dan Discorsi
e dimostrazioni matematiche, intorno à due nuove scienze diterbitkan di
Leiden pada 1638.
b. Optika Pada Abad ke-18
1.
Sir Isaac Newton
Isaac Newton (1643 M - 1727 M), ia adalah
seorang fisikawan, matematikawan, ahli astronomi, filsuf
alam, alkimiwan, dan teolog. Bahkan ia dikatakan sebagai
bapak ilmu fisika klasik. Dalam bidang optika, ia berhasil membangun teleskop refleksi
yang pertama dan mengembangkan teori warna berdasarkan
pengamatan bahwa sebuah kaca prisma akan membagi cahaya putih menjadi
warna-warna lainnya. Buku-buku karyanya adalah Method of Fluxions (1671), De Motu Corporum 1684), Optikks (1704), Reports as
Master of the Mint (1701-1725),
Arithmetica
Universalis (1707), dan An Historical
Account of Two Notable Corruptions of Scripture(1754).
Ketika muda Newton sudah mengasah lensa. Pada umur
23 tahun ia membeli prisma dan meneliti cahaya warna-warni yang dihasilkannya.
Cahaya putih menurutnya bukan murni melainkan campuran berbagai warna. Jika
berbagai warna itu gabungkan akan didapat cahaya putih. Hal ini dibeberkan
kesidang Royal Society. Pengamatan Newton dikecam habis-habisan oleh Robert
Hooke.
Pada tahun 1704 Newton menerbitkan Optikks,
pada bagian akhir optikks edisi pertama yang terbit setahun setelah Hooke
meninggal Newton kembali mengajukan beberapa spekulasi secara lebih hati-hati
tentang sifat cahaya. Ia menguraikan secara terperinci teori tentang cahaya.
Dia menganggap cahaya terbuat partikel-partikel (corpuscles) yang sangat
halus, bahwa materi biasa terdiri dari partikel yang lebih kasar, dan
berspekulasi bahwa melalui sejenis transmutasi alkimia "mungkinkah benda
kasar dan cahaya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, ... dan
mungkinkah benda-benda menerima aktivitasnya dari partikel cahaya yang memasuki
komposisinya?" Spekulasi tentang cahaya ia tuangkan dalam bentuk sejumlah
pertanyaan. Satu diantaranya mengungkapkan keyakinannya bahwa cahaya bersifat
seperti partikel,
“ Bukankah cahaya merupakan butiran teramat kecil
yang dipancarkan oleh benda yang mengkilap ? Butiran seperti itu akan melewati
medium yang seragam mengikuti garis lurus, tanpa dibelokkan dan masuk kedalam
bayangan dan demikianlah juga sifat cahaya.”
Butir-butir ini melaju bak
berondongan peluru menaati hukum dinamika, gejala pemantulan barangkali mudah
dijelaskan dengan pengertian peluru ini. Newton menjelaskan cahaya bagaikan
peluru yang melaju mengikuti lintasan lurus. Anehnya dilain tempat Newton malah
mengusulkan teori getaran eter untuk menjelaskan sifat cahaya. Ini
memperlihatkan ketidakkonsistenan Newton. Tapi Newton percaya bahwa eter
terdiri dari partikel yang sangat halus yang membuatnya bersifat sangat
renggang dan lenting. Alam tanpa eter tidak mungkin menghantar gelombang.
Newton bersikukuh menolak ide
Huygens bahwa cahaya bersifat gelombang. Menurut Newton gelombang akan melebar
dan mengisi seluruh ruang seperti gelombang air mengisi ceruk kolam, padahal
dalam praktik cahaya mengikuti garis lurus dan tidak mengisi ruang bayangan.
Pada kesempatan lain Newton menyatakan lebih suka langit tetap kosong daripada
diisi eter. Bagaimanapun juga sekiranya ruang angkasa diisi eter maka
perjalanan benda langit terhambat. Implikasi ini tidak teramati, ia tetap lebih
suka alam tanpa eter, persis seperti ajaran atonomi yunani. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa Newton masih bimbang perihal cahaya, ia tidak dapat memilih
antara model peluru dan getaran eter meski condong pada yang pertama. Dalam
edisi kedua Principia (1713) Newton kembali menutup segala spekulasi dan
menulis “saya tidak mengakali hipotesa”.
Walaupun Newton sendiri jelas-jelas
kurang yakin tentang sifat cahaya, orang-orang yang mendewakannya tidak perduli
dengan keraguan itu. Bagi mereka Newton mengajar sifat “peluru” cahaya secara
lugas. Bagian optikks yang membahas getaran yang dirangsang dalam eter tidak
dihiraukan murid-murid newton. Ada buku teks terbitan 1738 menegaskan bahwa
sulit membayangkan cahaya selain partikel materi yang sangat kecil tapi jelas.
Anggapan bahwa cahaya adalah materi menjadi unsur kepercayaan para ahli optika
yang dipegang erat-erat. Topik cahaya untuk pertama kalinya juga menjadi bagian
mekanika, atau tepatnya dinamika yang berkaitan pada newton.
Sampai pertengahan abad ke 18
kepercayaan menggebu-gebu pada cahaya sebagai peluru belum teruji lewat
percobaan. Misalnya, argumen tentang sebutir partikel eter yang meliputi
sekurangnya lima lapis: tiga lapis menarik dan dua lapis menolak. Lintasan yang
ditempus oleh sebutir peluru cahaya yang dipantulkan, dan satu lagi yang masuk dan
terbias.
c. Optika Pada Abad
ke-19
1. Michael Faraday
Pada tahun 1845, Faraday mulai
meneliti tali-temali cahaya dengan gejala elektromagnetik. Penelitian ini
diusulkan oleh William Thomson ( belakangan terkenal sebagai Lord Kelvin ).
Seberkas cahaya yang terpolarisasi oleh bidang ia lewatkan sejenis kaca berat
yang terletak di antara kedua kutub magnet. Bidang polarisasi cahaya itu
ternyata berputar. Faraday girang sekali. Kelihatannya bukan saja listrik yang
tekait dengan kemagnetan, tapi keduanya berhubungan dengan cahaya. Ia
menyimpulkan bahwa gaya magnetik dan gaya cahaya berhubungan satu sama lain.
Hal ini, menurut Faraday, kemungkinan besar sangat penting pada penelitian
susulan terhadap kedua jenis gaya alamiah ini. Prediksinya tidak meleset. Kelak
di kemudian hari, maxwell merumuskan hubungan ini secara matematis.
2. James Clerk Maxwell
Pengaruh
Faraday bagi Maxwell cukup besar. Khususnya dalam
merumuskan pengertian medan dalam persamaan – persamaannya, Maxwell banyak mendapat ilham dari Faraday. Pada mulanya Maxwell ( bersama
rekannya Thomson, dua-duanya di Cambridge, London ) masih membayangkan medan
sebagai eter yang berpusar. Namun, lama kelamaan ia menolak menafsirkan medan
dari mekanika fluida dan cenderung hanya membayangkan medan sebagai suatu
pengertian matematis untuk menyatakan apa yang terjadi antara dua muatan, dua
arus, atau antara arus dengan magnet. Bahkan dalam teori maxwell kita dapat
membayangkan medan elektromagnetik yang sama sekali lepas dari sumbernya.
Lambag E dan B mempunyai arti tersendiri. Sedemikian jauh bayangannya, sehingga
telah meninggalkan pengertian “ Tindakan Jarak Jauh ”
Tapi Maxwell tidak menerima gagasan
Faraday mentah-mentah. Jika Faraday menolak materi samasekali dan membayangkan
segalanya sebagai “ gaya ” semata, Maxwelll malah tetap berpegang pada
keberadaan materi. Faraday bahkan menolak “ ruang ” Newtonian. Tapi Maxwell
tidak berani melangkah sedemikian radikalnya.
Kita tahu bahwa persamaan-persamaan
Maxwell sangat dikagumi. Saking kagumya, Ludwig Boltzmann ( 1844-1906 ),
mengutip Johann Wolfgang von Guethe ( 1749-1832 ), berkata : Apakah
simbol-simbol ini ditulis oleh dewa ?
3. Heinrich Rudolf Hertz dan Hendrik Antoon Lorentz
Dua prediksi Maxwell diuji secara
terpisah oleh Heinrich Rudolf Hertz ( 1857-1894 ) dan Hendrik Antoon Lorentz (
1853-1928 ). Maxwell meramalkan bahwa gangguan di dalam medan magnetik dan
listrik harus merambat secepat cahaya. Tapi gelombang elektromagnetik seperti
itu belum pernah teramati.
Pada tahun 1887, Heartz
menguji prediksi itu sampai dengan memercikkan bunga api listrik di antara dua
kutub. Ia mengamati bahwa di antara dua kutub di tempat lain di dalam
laboratoriumnya terjadi juga percikan bunga api yang sama.Tak pelak lagi,
pengaruh bunga api yang petama harus dibawa sebagai gelombang melalui udara
sehingga menimbulkan bunga api yang kedua. Ia membuktikan secara experimental
bahwa gelombang mirip seperti gelombang cahaya, karena menunjukkan gejala pemantulan,
pembiasan, difraksi, dan polarisasi. Berkat penemuan ini, Hertz membawa kita
menuju jaman telekomunikasi.
4. J.J.
Thomson
Pada tahun 1899, Joseph John
Thomson meneliti cahaya ultraungu dalam tabung sinar katoda. Dipengaruhi oleh
kerja James Clerk Maxwell, Thomson menyimpulkan bahwa sinar katoda terdiri atas
partikel-partikel bermuatan negatif, yang dia sebut corpuscles
(belakangan disebut "elektron"). Dalam penelitian tersebut, Thomson
menempatkan pelat logam (yaitu, katoda) dalam tabung hampa, dan menyinarinya
dengan radiasi frekuensi tinggi.
d. Optika Pada Abad ke-20
1. Albert Einstein dan Max Planck
Pada tahun 1905, Albert Einstein
membuat percobaan efek fotoelektrik,
cahaya yang menyinari atom
mengeksitasi elektron
untuk melejit keluar dari orbitnya.
Pada pada tahun 1924 percobaan oleh Louis de Broglie
menunjukkan elektron
mempunyai sifat dualitas partikel-gelombang, hingga tercetus teori dualitas
partikel-gelombang. Albert Einstein
kemudian pada tahun 1926 membuat postulat
berdasarkan efek fotolistrik, bahwa cahaya tersusun
dari kuanta
yang disebut foton
yang mempunyai sifat dualitas yang sama.
Efek fotolistrik banyak membantu penduaan
gelombang-partikel, dimana sistem fisika (seperti foton
dalam kasus ini) dapat menunjukkan kedua sifat dan kelakuan seperti-gelombang
dan seperti-partikel, sebuah konsep yang banyak digunakan oleh pencipta mekanika kuantum.
Efek fotolistrik dijelaskan secara matematis oleh Albert Einstein
yang memperluas kuanta yang dikembangkan oleh Max Planck.
Hukum emisi fotolistrik:
- Untuk
logam dan radiasi tertentu, jumlah fotoelektro yang dikeluarkan berbanding
lurus dengan intensitas cahaya yg digunakan.
- Untuk
logam tertentu, terdapat frekuensi minimum radiasi. di bawah frekuensi ini
fotoelektron tidak bisa dipancarkan.
- Di
atas frekuensi tersebut, energi kinetik yang dipancarkan fotoelektron
tidak bergantung pada intensitas cahaya, namun bergantung pada frekuensi
cahaya.
- Perbedaan
waktu dari radiasi dan pemancaran fotoelektron sangat kecil, kurang dari
10-9 detik.
Karya Albert Einstein
dan Max Planck
mendapatkan penghargaan Nobel masing-masing pada
tahun 1921 dan 1918 dan menjadi dasar teori kuantum mekanik
yang dikembangkan oleh banyak ilmuwan, termasuk Werner Heisenberg,
Niels Bohr,
Erwin Schrödinger, Max Born,
John von Neumann, Paul Dirac,
Wolfgang Pauli, David Hilbert,
Roy J. Glauber dan lain-lain.
Era ini kemudian disebut era optika modern
dan cahaya didefinisikan sebagai dualisme gelombang
transversal elektromagnetik dan aliran partikel
yang disebut foton.
Pengembangan lebih lanjut terjadi pada tahun 1953 dengan ditemukannya sinar
maser,
dan sinar
laser
pada tahun 1960. Era optika modern tidak serta merta mengakhiri era optika klasik,
tetapi memperkenalkan sifat-sifat cahaya yang lain yaitu difusi
dan hamburan.
e. Optika Masa Kini : Serat Optik
Serat optik adalah saluran transmisi
atau sejenis kabel yang terbuat dari kaca atau plastik yang sangat halus dan lebih kecil dari sehelai rambut,
dan dapat digunakan untuk mentransmisikan sinyal cahaya dari
suatu tempat ke tempat lain. Sumber cahaya yang digunakan biasanya adalah laser atau LED. Kabel ini berdiameter
lebih kurang 120 mikrometer. Cahaya yang ada di dalam serat optik tidak keluar
karena indeks bias dari kaca lebih besar daripada indeks bias dari udara,
karena laser mempunyai spektrum yang sangat sempit. Kecepatan transmisi serat
optik sangat tinggi sehingga sangat bagus digunakan sebagai saluran komunikasi.
Perkembangan
teknologi serat optik saat ini, telah dapat menghasilkan pelemahan
(attenuation) kurang dari 20 decibels (dB)/km. Dengan lebar jalur (bandwidth)
yang besar sehingga kemampuan dalam mentransmisikan data menjadi lebih banyak
dan cepat dibandingan dengan penggunaan kabel konvensional. Dengan demikian serat
optik sangat cocok digunakan terutama dalam aplikasi sistem telekomunikasi.
Pada prinsipnya serat optik memantulkan dan membiaskan sejumlah cahaya yang
merambat didalamnya.Efisiensi dari serat optik ditentukan oleh kemurnian dari
bahan penyusun gelas/kaca. Semakin murni bahan gelas, semakin sedikit cahaya
yang diserap oleh serat optik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu Al Haitham adalah
seorang fisikawan islam yang terkenal dengan hail karyanya dalam bidang optika,
Segala teori dan praktek dari
seorang ilmuwan cerdas yang miskin dalam ekonomi namun kaya dalam ilmu
pengetahuan khususnya fisika ternyata sesuai dengan perkembangan ilmu fisika
modern dewasa ini. Sehubungan dengan itu Ibnu Al Haitham diakui sebagai
“peletak dasar ilmu modern”. Keberhasilan seorang Ibnu Al Haitham tidak lepas
dari peranan lingkungan sosial yang ada disekitarnya seperti kejayaan dinasti
yang berkuasa pada masa Ibnu Al Haitham yaitu dinasi abbassiyah, digerakkannya
kegiatan penerjemahan, dan Adanya paham dan sistem sosial yang mendorong
kegiatan Ibnu Al Haitham.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim3.
20012. http://komunitaspendidikan.com/index.php/forum/model-pendidikan-rendah-kuttab-pada-era-klasik/210.
diakses tanggal 26 oktober 2012
Anonim5.
2012. http://einsteinfisika.blogspot.com/2012/01/sejarah-fisika-optika-optik.html. diakses
tanggal 29 oktober 2012
Hustim
rahmini.1996. Bahan Perkuliahan Sejarah
Fisika. Makassar: UNM
R. A. Gunadi, M. S.
2002. Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol. Jakarta: Republika.
Comments
Post a Comment