Filsafat Rekonstruksionisme
2.1.1 Pengertian Filsafat Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
berasal dari kata reconstruct yang
berarti menyusun kembali. Sedangkan dalam konteks filsafat pendidikan,
aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan
lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak
modern. Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun
1930. Mereka bermaksud membangun masyarakat baru yang dipandang pantas dan adil
(HW.
Gandhi, 2017).
Pada prinsipnya,
aliran rekonstruksionisme banyak yang sepaham dengan aliran perenialisme, yang
dikhususkan kepada keprihatinan para rekonstruksionis terhadap kehidupan
manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya krisis kebudayaan
modern.
Beberapa tokoh
dalam aliran ini antara lain adalah Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
Hasil karya George Counts berupa tulisannya tentang "Prinsip
Pendidikan" dengan J. Crosby Chapman. Itu adalah gambaran filosofis,
psikologis, dan metodologis American George Counts ingin para guru untuk
memimpin masyarakat bukannya mengikuti masyarakat. Para guru adalah pemimpin
dan harus membuat kebijakan yang bisa memutuskan antara tujuan dan nilai-nilai.
Guru harus peduli dengan urusan sekolah, tetapi juga harus peduli dengan
masalah-masalah kontroversial ekonomi, politik, dan moralitas (Mubin,
2018).
Rekonstruksionisme
sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan pertama kali diprakarsai oleh
John Dewey pada tahun 1920 melalui karyanya yang berjudul “Reconstruction in
Philosophy”. Kemudian aliran ini berlanjut dengan munculnya tokoh-tokoh
lain seperti Caroline Pratt, George Counts, Harold Rugg, John Hendrik dan
Muhammad Iqbal sebagai wakil dari tokoh intelektual muslim(Yudistiro, 2018)
Caroline Pratt
merupakan seorang guru muda yang inovatif. Caroline Pratt mengungkapkan ide-ide
dari Friedrich Froebel tentang sesuatu yang dapat memberikan anak-anak
kesempatan untuk mewakili dunia mereka. Dia merancang unit blok yang menjadi
bahan dasar di sekolah-sekolah di seluruh Amerika Serikat.
Harold Rugg adalah
seorang guru, insinyur, sejarawan, ahli teori pendidikan, dan mahasiswa
psikologi dan sosiologi. Banyak ide-ide novel Rugg's tentang pengembangan
kurikulum yang diterapkan di seri sosialnya 14-volume studi buku, diterbitkan
dengan judul umum "Nya Mengubah Manusia dan Masyarakat" antara 1929
dan 1940. Ruug juga menjabat sebagai psikolog pendidikan di Sekolah Lincoln
eksperimental. John Hendrik sendiri berpandangan bahwa rekonstruksionisme merupakan reformasi sosial yang menghendaki budaya modern
para pendidik (Yudistiro, 2018).
2.1.2
Pandangan Filsafat Rekonstruksionisme
terhadap Pendidikan
1) Pandangan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ontologi Filsafat Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionisme
memandang bahwa realita itu bersifat universal, realita itu ada dimana-mana dan
sama disetiap tempat. Menurut (Noor, 1989), untuk mengerti
realita, kita tidak hanya
harus melihat sesuatu
yang konkrit tetapi juga
sesuatu yang khusus, karena realita yang kita ketahui dan
hadapi tidak terlepas dari
suatu sistem, selain substansi yang
dipunyai dari tiap
sesuatu tersebut. Sebagai
substansi, tiap realita itu selalu
bergerak dan berkembang
dari potensialitas menuju aktualitas, sehingga gerakan tersebut mencakup
tujuan dan terarah, guna mencapai
tujuannya masing-masing dengan caranya sendiri, karena tiap realita memiliki
perspektif tersendiri.
Pada prinsipnya
aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualism. Menurut Bakry, aliran ini berpendirian bahwa
alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber, yakni hakikat materi
dan hakikat ruhani. Kedua macam hakikat ini memiliki
ciri yang bebas
dan berdiri sendiri, azali
dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan
hubungan dalam alam. Menurut Descartes,
pada umumnya manusia tidak
sulit menerima prinsip dualism ini,
yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir
dapat segera ditangkap oleh panca
indera manusia, sementara kenyataan batin
segera diakui dengan adanya
akal dan perasaan
hidup. Dibalik gerak realita
sesungguhnya terdapat kausalitas yang
menjadi pendorong dan penyebab
utama atau kausa
prima. Kausa prima ialah Tuhan,
yang menggerakkan Kausa prima
ialah Tuhan, yang menggerakkan sesuatu.
Tuhan adalah aktualitas murni yang sama sekali sunyi dari substansi. Menurut
(Noor, 1989), pemikiran di
atas berasal dari gerakan
intelektualitas pada abad pertengahan yang
mencapai kristalisasi pada abad IX–XIV,
yang memberikan argumentasi rasio
tentang eksistensi Tuhan. Seorang
tokoh utama Scholastic, Alselpus, menyatakan
bahwa secara kritis realita semesta
dapat dipahami dan
tidak ada sesuatu di
alam nyata ini
di luar kekuasaan Tuhan,
karena semua itu sebagai
perwujudan dari kesempurnaanNya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran
ini didukung oleh Thomas Aquinas. Menurut Thomas Aquinas, untuk mengetahui
realita yang ada harus berdasarkan
iman, sementara perkembangan rasional
hanya dapat dijawab dan mesti
diikuti dengan iman.
Epistemologi
Filsafat Rekonstruksionisme
Kajian epistemologis, aliran ini lebih merujuk kepada
pendapat aliran pragmatisme dan
perenialisme. Menurut aliran
ini, untuk memahami realita memerlukan suatu
asas tahu. Maksudnya, kita tidak
mungkin memahami realita
ini tanpa melalui proses
pengalaman dan hubungan dengan
realita terlebih dahulu melalui penemuan
ilmu pengetahuan. Karenanya, baik
indera maupun rasio sama-sama berfungsi
membentuk pengetahuan yang sesungguhya.Aliran ini
juga berpendapat bahwa dasar
dari suatu kebenaran
dapat dibuktikan dengan self-efidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri,
realita dan eksistensinya. Dengan kata
lain pengetahuan yang benar
buktinya ada di dalam
pengetahuan ilmu itu
sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan
bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan.
Pedoman aliran ini berasal
dari ajaran Aristoteles
yang membicarakan dua hal
pokok, yakni pikiran (ratio)
dan bukti (avidance)
yang menggunakan jalan silogisme.
Silogisme menunjukkan hubungan logis
antara premis mayor, premis minor,
dan kesimpulan (conclusion), yang
memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
Aksiologi
Filsafat Rekonstruksionisme
Dalam proses interaksi sesama manusia diperlukan
nilai-nilai. Begitu juga dalam hubungan manusia
dengan alam. Aplikasi
pendidikan rekonstruksionisme menurut semesta,
prosesnya tidak mungkin dilakukan dengan
sikap netral. Dalam
hal ini, manusia sadar
ataupun tidak sadar telah
melakukan proses penilaian,
yang merupakan kecenderungan manusia.
Tapi secara umum ruang
lingkup pengertian “nilai” ini
tidak terbatas. Menurut Barnadib, aliran
rekonstruksionisme memandang
masalah nilai berdasarkan asas-asas supranatural,
yaitu menerima nilai natural
yang universal, yang
abadi, berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah
emanasi potensial yang berasal
dari Tuhan. Atas dasar
pandangan inilah tinjauan tentang
kebenaran dan keburukan dapat
diketahui. Kemudian manusia sebagai
subjek telah memiliki potensi-potensi keabadian
dan keburukan sesuai dengan
kodratnya. Kebaikan itu akan
tetap tinggi nilainya
bila tidak dikuasai oleh
hawa nafsu, disinilah
akal berperan menentukan
2)
Pandangan Rekonstruksionisme pada
pendidikan
Para
rekonstruksionis dikenal sebagai pembela dunia yang militant. Gagasan-gagasan
mereka selalu menunjukkan kepedulian moral mereka pada situasi kehidupan yang
tengah berlangsung. Hidup, khususnya pendidikan telah diselenggarakan dengan
cara yang salah. Oleh karenanya makin hari hidup bukannya bertambah baik malah
justru bertambah buruk. Satu-satunya jalan keluar dari semua ini menurut rekonstruksionis
adalah dengan mengubah praktik pendidikan yang ada kedalam konteks-konteks baru
(HW.
Gandhi, 2017).
Pada tahun 1970-an
seorang Alvin Toffler merespon ledakan pengetahuan dan teknologi dengan karyanya
Future Shock. Alvin Toffler adalah
seorang futuris yang mencoba memberikan gambaran mengenai konsep manusia di
masa mendarang. Artikel tersebut melukiskan tekanan dan disorientasi hebat yang
dialami oleh manusia jika terlampau banyak dibebani perubahan dalam waktu
singkat.
Hal ini membawa
pada sebuah kesadaran reflektif. Alvin Toffler menulis “apa sebenarnya yang
dilakukan pendidikan hari ini, tidak lain adalah anakronisme tanpa harapan”.
Pendidikan berjalan hanya menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan
hanya melayani era industri sedangkan situasi social sudah masuk periode
superindustri.
Sekolah-sekolah
kita lebih sibuk mengurusi sistem yang mati daripada menangani masyarakat yang
sedang tumbuh. Energy besarnya dipergunakan untuk mencetak manusia industrial,
yaitu manusia yang disiapkan untuk bisa hidup dalam sistem yang akan mati
sebelum mereka eksis. Untuk membantu menciptakan sebuah sistem pendidikan
superindustrial, kita harus mencari tujuan-tujuan pendidikan dan metode-metode di
masa akan datang bukan justru di masa lalu.
George knight
melihat betapa Toffler menegaskan perlunya sistem pendidikan yang mampu
melahirkan harapan akan hidup di masa depan sehingga peserta didik dan guru
mesti mengarahkan perhatian mereka bukan pada kenyatan hari ini, sebaliknya
pada nilai-nilai dan tujuan masa depan yang hendak diraihnya. Disini pendidikan
perlu mengkaji secara serius berbagai model social, potensi dan resistansi
mereka serta mampu mengembangkan konsep-konsep terpadu yang memungkinkan mereka
melahirkan sistem pendidikan masa depan (HW.
Gandhi, 2017)
Menurut (Noor, 1989), pandangan rekonstruksionisme dalam pendidikan adalah
sebagai berikut.
Tujuan Pendidikan
a. Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai
lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam
masyarakat.
b. Tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis adalah
mengembangkan ”insinyur-insinyur” sosial, warga-warga negara yang mempunyai
tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
c. Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan
kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang
dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Metode pendidikan
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat
dan kebutuhan-kebutuhan programatik untuk perbaikan. Dengan demikian menggunakan
metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusunan program aksi
perbaikan masyarakat
Kurikulum
Kurikulum berisi mata-mata pelajaran yang
berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan. Kurikulum
banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat
manusia, yang termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik
sendiri; dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi
kolektif. Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu
sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.
Peserta didik
Peserta didik adalah generasi muda yang sedang tumbuh
menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan, dan perlu berlatih keras untuk
menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat
masa depan.
Guru
Guru
harus membuat
para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, membantu
mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat
untuk memecahkannya. Guru
harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan
perubahan. Guru harus menumbuhkan berpikir berbeda-beda sebagai suatu cara
untuk menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan
keberhasilannya.
REFERENSI
HW. Gandhi, T. W. (2017). Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab
Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: AR-Ruzz Media.
Mubin, A. (2018). Pengaruh Filsafat
Rekonstruksionisme Terhadap Rumusan Konsep Pendidikan Serta Tinjauan Islam
Terhadapnya. Rausyan Fikr, 11.
Noor, S. M. (1989). Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha
Nasional.
Yudistiro, I. M. (2018). Aliran
Rekonstruksionisme Dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam. Retrieved from
Academia website:
https://www.academia.edu/29356722/ALIRAN_REKONSTRUKSIONISME_DALAM_PANDANGAN_FILSAFAT_PENDIDIKAN_ISLAM
Comments
Post a Comment