cerita fiksi (cinta dan fismat)
CINTA DAN FISMAT
Oleh: Ahmad Suryadi
Eps 3
Kata
yang sudah sampai ke saraf motorik dan siap untuk dieksekusi oleh tangan Mira,
tiba-tiba terhenti dengan tepukan bahu dari belakang oleh seseorang “he….
Ngapain kalian ayo….”, seru Nya sambil mengambil kursi dan kemudian duduk
didekat Mira. Seketika Dika mengambil
kertas itu dan melipatnya kemudian dimasukkannya dalam saku kemeja putihnya.
“eh,
Nya… uphts sorry maksud saya sinta, habis dari mana ki?”, Tanya Dika basa-basi
sambil menggerutu dalam hati “sedikit lagi padahal, eh si Nya malah datang
hancurin semuanya”.
“habis
kuliah instrumen non tes Dik, oh ia special buat Dika boleh panggil aku Nya
saja nda usah Sinta yah”, jawab Nya sambil memutar-mutar pulpen yang sedang ia
pegang.
“entar
malam kita keluar jalan-jalan yuk, kebetulan tadi gua udah panggil Amir dan
katanya siap ngantar kita jalan-jalan pake mobilnya, untuk tujuannya entar
malem aja kita diskusikan oke!, pasti mau kan?”, tambah Nya
“ehm,, bisa kok, entar malem saya ke kosan kalian”,
jawab Dika masih dengan wajah datar tanpa senyum seperti biasanya.
Buku
berserakan, pakaian kotor diatas ranjang, dan kertas cakaran berserakan. Dika
kemudian membuang diri nya keatas tempa tidur dengan wajah lesu seperti ketas
origami yang udah berkali-kali dilipat.
Sementara Mira terlihat tak bersemangat dengan wajah murung dan terus saja
melamun didepan meja belajarnya. Sudah 5 lembar tulisannya yang jadi semenjak
dia duduk disana, entah apa yang dia tulis namun sepertinya ini bukan lagi
maslaah hobi nulis tapi memang karena dia lagi galau atau punya masalah berat.
“ada
apa Mir lagi punya masalah ya, cerita dong, mungkin saya bisa bantu”, pinta
Nya.
“nda
apa-apa kok, terimakasih Nya udah perhatian banget ama aku”, jawab Mira
“beneran?”,
“ia,
nda apa-apa kok!”,
Amir
kini sudah datang dan menuggu dua cewek cantik itu selesai berdandan, “diminum
Mir”, terdengar suara dalam kamar. “tedeng…tedeng”, “sorry yah, nda bisaka
kayaknya pergi soalnya ada sedikit urusanku yg mau aku selesaikan, tanyai juga Mira
nah bilang sorry nda bisa gabung” begitu isi sms Dika ke Amir. Mendengar
penyampaian amir muka keduanya kemudian berubah “hufht, nda apa apa lah bertiga
juga nda apa-apa”.
Mobil
merah yang mengkilap dengan sofa yang empuk mengantar keduanya keliling kota Makassar,
maklum Amir adalah anak dari rektor universitas tempat mereka kuliah yang pastinya kaya dan serba ada. “pertama, kita
ke mal yah”, pinta Nya dengan semangat. “terserah, habis itu kemana?”, Tanya
Amir, “nanti kita lihat, oke”, jawab Nya. Begitulah Amir meskipun dia orang
kaya namun dia bersahabat dengan semua teman-teman kelasnya dan tidak sombong,
bahkan yang tahu kalau dia anak rector hanya Dika, Mira, dan Nya.
Dari
arah depan tiba-tiba lampu menyorot tajam, truk besar itu berbelok kekiri kekanan
dan “BOOOOOOOOOOMMMMMMM”, di saat yang sama Dika sedang asyik mengerjakan urusan pentingnya
yaitu mengerjakan Fismat section 5
materi diferensial parsial dan tan pa disengaja buku tebal itu kemudian
terjatuh dari atas meja terkena tangan Dika.
“kok perasaanku nda enak yah”, kata Dika didepan cermin tepat disamping meja
belajarnya.
…….
Esok hari Dikampus
“nda
pergiki kerumah sakit dik?”, Tanya bagus
“rumah
sakit?, siapa yang sakit?, Dika balik naya.
“nda
ditauki, kecelakaanki tadi malam Mira, Sinta,sama Amir, deh hancur benk
mobilnya”,
“ha…..”,
Dika kaget dan kemudian bertanya “jadi, dimanaki sekarang?”,
“adai
di RS Ibnu Sina kayaknya, sebentarpi kesana paenk sama-sama meki saja”,
“hmm,
duluan meka saja nah, mauka cepat-cepat
pergi liatki”, kata Dika dengan nada yang terburu-buru.
“tapi
kan kuliahki Fismat”, teriak bagus karena Dika sudah berlari menuju kendaraanya
yang dia sebut sebagai motor antic itu.
“biar
mi,,” teriak Dika yang suaranya hamper tidak terdengar karena pelayangan bunyi antara
suaranya dengan suara motornya yang memiliki frekuensidan amplitude cukup
besar.
“brummmmm…………”,
Dika memacu kencang motornya sambil memikirkan terus nasib Mira dan
teman-temannya yang lain. “semoga mereka baik-baik saja”, motor yang iasanya
hanya berkecepatan 20 km/jam kini dipacu hingga 60 km/jam sampai-sampai keluar
asap tebal dari belakangnya seakan menghapus jejaknya.
……
“maaf
pak, kami sudah berusaha dengan maksimal, pendarahannya sangat besar dan Tuhan
berkehedak lain”, kata seorang pria tegak dengan jubah putih dengan masker
didagunya kepada seorang bapak yang sepertinya aku kenal. Semua orang ditempat
itu tiba-tiba menangis dan tanpa Dika sadari air matanya juga kini telah
membasahi pipinya. Segera ia mendekat kekerumunan orang menangis itu dan mencoba
untuk masuk melihat temannya. Beberapa orang kemudian masuk keruangan itu
sedangkan yang lainnya tetap menangis dan menuggu gilirannya diluar ruangan.
Dika
mencoba tegar dan tak lama kemudian bagus datang “bagaimanami kondisinya
temanta dik?”, Tanya bagus.
“katanya
dokter barusan, meninggal mi karena parah sekali benk pendarahannya”, jawab Dika
dengan suara terbata-bata dengan wajah pucat dan sedih.
Keduanya
kemudian berjalan menuju depan ruangan itu, namun mereka tidak bisa masuk
karena orang tua almarhum ingin segera membaya jenazah anaknya kerumahnya. Jenazah
pertama keluar disampingnya ada pak rector dan istrinya yang terus menangis.
Jenazah kedua kemudian keluar dibawa oleh keluarganya yang tak satupun Dika
kenal.
Sambil
menyandarkan badanya di dinding lorong rumah sakit itu, air mata Dika semakin
deras mengalir, tidak ingin dianggap cengen sama teman-temannya, ia mencoba mengahapus air matanya dengan
tangan, “nih pake tisu dik”, Dika kemudian terdiam dan menoleh perlahan-lahan
kesamping kanan keheranan mendengar
suara yang mirip dengan suara Mira “Mira?”, Tanya Dika keheranan.
“apaan
si lho dik, baru semalam nda ketemu udah lupa,,, atau jangan jangan…………… hm
pasti kamu kira saya hantu yah, karena saya tiba-tiba ada disini”,kata Mira
“jadi,,
yang tadi itu siapa?”, Dika kembali bertanya
“itu….
Nya dik, gua sedih banget harus
ditinggal ama dua sahabat terbaik gua”, jawab Mira sambil mengucurkan air mata
yang tak sanggup lagi terbendung.
Dika
kemudian langsung memeluk Mira dan mengatakan “Alhamdulillah Mir kamu tidak
apa-apa”, namun dengan sekejap pula Dika kemudian melepaskan pelukannya dan
berkata “maaf Mir nda bermaksud kok”,
“nda
apa-apa “, jawab Mira dengan sopan.
“bagaimana
ceritanya kamu bisa selamat Mir?”, Tanya Dika
“ah,
nanti aja ceritainnya, kita antar teman kita dulu yah”
“oh
ea”, wajah Dika kini sudah berubah seperti kertas origami yang disetrika lurus
dan rata kembali.
……
Habis
dari pemakaman temannya Mira pun pulang kekosannya bersama Dika dan
menceritakan kejadian malam itu,
“malam
itu gua nda jadi ikut ama mereka dik, gara-gara perut aku sakit”
“ohh.
Gua kirain gara-gara gua nda datang”, cetus Dika, mencoba untuk melucu padahal
memang itu yang dia harapkan.
“ah lho
bisa aja Dik”, tambah Mira
“hem,
bercanda kok mir”, sedikit demi sedikit Dika mulai bisa meniru gaya bicara Mira
meski sedikit aneh dipendengaran Mira.
….
Semenjak
kepergian sahabatnya kini Mira tinggal sendiri, kekampus sendiri, pulang
sendiri, tak ada lagi canda tawa dari seorang Nya yang khas, semuanya kini
berbeda bagi Mira. Hanya Dika kini yang selalu datang menghibur dan
menemaninya.
“beda
banget yah, sekarang nda adami Nya”, kata Dika ke Mira,
“ia..,
tapi inilah takdir dia harus pergi terlebih dahulu kita hanya bisa berdia
semoga dia bisa tenag disana”, balas Mira.
Persahabatan
mereka yang kini terasa kurang, namun
dengan bergulirnya waktu, seiring dengan selesainya pembahasan diferensial parsial dan
integral, sedikit demi sedikit rasa kehilangan itu terobati dengan teman-teman
yang baru, serta semangat mencoba untuk
tegar dan menerima segalanya.
………….
terimakasih untuk artikel pak.
ReplyDeletesalam sehat selalu,
https://ruangguru.com/