Filsafat Eksistensialisme
2.1.1 Pengertian Filsafat
Eksistensialisme
Hakikat
Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme
berasal dari kata "eksistensi" dengan akar kata eks
"keluar" dan sistensi "berdiri". Kata
"eksistensi" diartikan sebagai manusia berdiri sebagai diri sendiri
dengan keluar dari dirinya serta
manusia sadar bahwa dirinya ada. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang
berpusat pada manusia sebagai individu yang bertanggung jawab atas kemauannya
secara bebas.
Paham
Eksistensialme berkekembang pada abad ke-20 di Prancis dan Jerman. Paham ini
muncul sebagai respon yang mendalam atas runtuhnya berbagai tatanan d dunia
barat pasca meletusnya Perang Dunia pertama. Keyakinan atas keberlanjutan
kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan mulai hancur. Bahkan,
legitimasi atas kekuasaan sudah mulai hilang dan kuasa terhadap diri sendiri
atas individu dianggap tidak memiliki peran yang berarti. Kondisi ini mendorong
ada eksistensialis kembali pada di manusia sebagai pusat filsafat yang sejati.
Filsafat
eksistensialistis tidak merupakan satu aliran filsafat yang bulat, yang tunggal
dan monolistis, seperti kita dapat berbicara tentang filsafat Aristoteles,
Plato atau Hegel. Di bawah judul eksistensialisme bernaunglah macam-macam
aliran dan macam-macam tokoh, yang kadang-kadang saling berlawanan yang sering
dalam pergaulan sehari-hari disebut pandangan eksistensialistis adalah filsafat
Jean Paul Sartre, salah satu dari filsuf-filsuf eksistensialistis. Bahkan
Sartre bukanlah tokoh utama aliran ini, apalagi tokoh yang paling representatif
(1986)". Lebih lanjut Dick mengatakan "pada umumnya filsafat dan
pandangan eksistensialis di sini baru mulai diketahui di Indonesia sesudah
Perang Dunia II, tegasnya sesudah perjuangan kemerdekaan kita selesai, jadi
sesudah tahun 1949 (Sartre, 1996).
Namun
juga tidak dapat diingkari adanya pengaruh filsafat lain terhadap
eksistensialisme, yaitu fenomenologi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche
(1844—1900), Edmund Husserl (1859—1941), Nicolas Alexandrovitch Berdyaev
(1874—1948), Karl Jaspers (1883—1969), Jean-Paul Sartre (1905--1980), dan
metafisika modern. Pokok-pokok filsafat eksistensialisme adalah menganggap
bahwa hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi merupakan cara khas
manusia untuk menunjukkan bahwa dia ada. Perhatian utama diarahkan pada manusia
dan bersifat humanistis. Berikut ini
merupakann ciri eksistensialisme, yaitu :
1)
Fokus Utama pada pandangan ini
adalah cara manusia “berada” atau eksistensi. Hanya
manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara yang khas manusia berada.
Pusat perhatian terletak pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistik.
2)
Proses eksistensi diartikan secara
dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi
berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau
kurang dari keadaannya semula.
3)
filsafat eksistensialisme memandang manusia secara terbuka. Manusia adalah
realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia
terikat pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesamanya manusia.
4) Filsafat eksistensialisme
memberikan tekanan yang sangat besar kepada pengalaman yang eksistensial.
Heidegger memberi tekanan kepada kematian yang menyuramkan segala sesuatu.
Marchel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang
bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, kesalahan, dan lain sebagainya
Sejarah Perkembangan Eksistensialisme
Dalam
sejarah perkembangannya, eksistensialisme jelas mengacu pada fenomena
kemanusiaan kongkret yang tengah terjadi. Sebagaimana diketahui, filsafat
eksistensialisme berkembang pesat pasca perang dunia kedua, yang seolah
membenarkan permenungan filosofis pada kenyataan (kemanusiaan) yang kongkret
tersebut. Oleh karena itu, permenungan rasionalitas Descartes yang menegaskan
Cogito Ergo Sum ”Saya berpikir maka saya
ada”, dibalik secara ekstrem oleh eksistensialis dengan pernyataan: “Saya ada,
maka saya berpikir”. Aliran ini lebih menekankan perhatiannya pada subjek,
bukan pada objek, Pelopor atau bapak eksistensialisme adalah Soren Aabye Kierkegaard
(1813—1855). Kierkegaard berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup
sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak
terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun
dirinya memiliki keterbatasan untuk melakukan itu.
Martin
Heidegger (1889—1976) memberi tekanan pada kematian, yang menyuramkan segala
sesuatu. Dikatakan oleh Heidgger bahwa di dalam kesibukan dan kecintaan untuk
memelihara manusia merasa cemas akan ketiadaan karena ketiadaan ini mengancam
ada. Kematian ini adalah akhir yang selalu hadir, maka eksistensi manusia
adalah eksistensi yang menuju ke kematian. Selain itu, Heidegger berpendapat manusia sadar dengan tempatnya. Inti pemikirannya adalah
keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada
diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda
yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia
karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada
setiap tindakan dan tujuan mereka.
Gabriel
Marcel (1889 –1973) memberi tekanan pada pengalaman keagamaan dan hal yang
transendental. Ini ditunjukkan melalui ajarannya mengenai adanya "Engkau
yang tertinggi", yang tidak dapat dijadikan obyek oleh manusia. Karl
Jaspers (1883—1969) memberi tekanan pada pengalaman saling pertentangan dalam
eksistensi yang sulit didamaikan. Eksistensi masih mengandung di dalamnya
hal-hal yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Sifat-sifat hakiki
eksistensi ini lebih-lebih dialami dalam situasi perbatasan yang tidak dapat
dihindari yaitu kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan. Jean Paul
Sartre (1905—1980) memberi tekanan pada kebebasan manusia. Manusia tidak lain
daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. "Man is nothing else but
what he makes of himself". Maka manusia itu bebas dalam arti yang
sebenarnya, ia menciptakan masa depannya dan karena itu ia bertanggung jawab
bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Tanggung jawab ini tidak dapat
dibebankan kepada orang lain ataupun Tuhan.
Aliran Filsafat Eksistensialisme
1.
Berdasarkan fungsinya, Eksistensialisme berkaitan dengan penggunaan konsep-konsep eksistensialistik sebagai model suatu
pemikiran dan eksistensialisme dibedakan menjadi dua. Eksistensialisme
metodis dan eksistensialisme ideologis.
a)
Eksistensialisme
metodis adalah bentuk pemikiran yang menggunakan konsep konsep dasar
eksistensialisme manusia, seperti; pengalaman personal, sejarah situasi
individu, kebebasan, sebagai alat atau sarana untuk membahas tema-tema khusus
dalam kehidupan manusia.
b)
Eksistensialisme
ideologis merupakan kebalikannya, merupakan suatu bentuk pemikiran
eksistensialisme yang menempatkan kategori-kategori atau konsep-konsep dasar
eksistensialisme manusia sebagai satu-satunya ukuran yang sahih dalam membahas
setiap problema hidup dan kehidupan manusia pada umumnya. Jenis
eksistensialisme ini berusaha mengabsolutkan seluruh kategori-kategori
eksistensi manusia sebagai satu-satunya kebenaran.
2.
Eksistensialisme jika
ditinjau berdasarkan implikasi teologisnya, terbagi atas dua bentuk,
eksistensialisme teistik dan eksistensialisme atheistik.
a)
Eksistensialisme
teistik merupakan suatu bentuk aliran eksistensialisme yang orientasi
pemikirannya kearah penegasan adanya realitas ketuhanan. Dalam bentuk ini,
pemikiran disandarkan pada asumsi bahwa untuk memahami eksistensi manusia
diperlukan adanya Tuhan. Diperlukan nilai transendensi untuk memahami
eksistensinya yang mengarah pada realitas ketuhanan.
b)
Eksistensialisme
atheistik adalah orientasi pemikiran eksistensialistik yang memilki implikasi
menuju penolakan adanya realitas ketuhanan. Bentuk pemikirannya terletak pada
asumsi bahwa bahwa untuk menegaskan eksistensi manusia, maka keberadaan Tuhan
harus disingkirkan atau diingkari. Dan salah satu filosof yang mengingkari
keberadaan Tuhan untuk menempatkan eksistensi manusia adalah Jean Paul Satre
2.1.2
Pandangan Filsafat Eksistensialisme
terhadap pendidikan
1) Pandangan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pandangan Ontologi
Fokus Utama dari
pemikiran Eksistensialisme adalah eksistensi individu terhadap realitas.
Realitas diartikan sebagai kenyataan hidup itu sendiri. Penggambaran realitas
disesuaikan dengan diri manusia bukan dari luar kondisi manusia. para pencetus
paham Eksistensi memiliki pandangan berbeda dengan kaum neo skolastik yang
berpendapat bahwa esensi manusia mendahului eksistensi manusia.
Eksistensialisme berpendapat bahwa eksistensi mendahului esensi yang berarti
bahwa manusia ada terlebih dahulu baru menentukan hal yang menyangkut esesnsi
dirinya sendiri.
Aktivitas yang dilakukan
manusia merupakan proses mencari esensi diri manusia tersebut. Kehidupan
merupakan proses manusia dalam membuat pilihan-pilihan serta menentukan pilihan
yang disukai maupun tidak. Aktivitas kehidupan pula yang membuat manusia
menyadari bahwa ia adalah seorang individu. Pada akhirnya, proses ini manusia
akan sadar bahwa dirinya telah memilih untuk “berada”. Seorang individu pun
akhirnya akan berhadapan dengan eksistensi dan tanggung jawab terhadap
pilihannya.
Pandangan Epistemologi
Epistemologi
eksistensialisme berasumsi bahwa individu dapat bertanggung jawab terhadap
pengetahuannya. Sumber pengetahuan dan penyusunan dalam kesadaran serta
perasaan individu merupakan hasil dari pengalaman dari rangkaian perjalanan
hidup individu tersebut. Validitas dari pengetahuan tersebut ditentukan oleh nilainya bagi
individu. Pada aliran ini, ilmu pengetahuan tidak
dapat menciptakan kenyataan, semua pengetahuan menuju obyek-obyek khusus dan
diperoleh dengan cara-cara yang khusus dari pandangan yang khusus pula. Maka
dari itu, tidak ada pengetahuan yang bersifat final atau absolute.
Eksistensialisme
beranggapan bahwa pengetahuan tidak memisahkan antara subjek sebagai pengamat
dan objek yang diamati. Implikasi pada pembelajaran dapat terlihat pada mata
pelajaran sekolah yang tidak hanya sebagai alat untuk perwujudan subjektivitas
melainkan sebagai usaha mencariarti hidup.
Pandangan Aksiologi
Eksistensialisme beranggapan nilai menekankan pada kebebasan dalam tindakan. Nilai merupakan hal yang tidak terpisahkan dari pilihan manusia dalam berbuat yang bersifat bebas. Menurut paham eksistensial, perbuatan manusia diarahkan pada perbuatan yang baik dan mengarah pada pernyataan yang positif. Pilihan yang dibuat akan selalu melibatkan tanggung jawab dari pribadi individu tersebut.
1)
Pandangan Eksistensialisme pada pendidikan
Satre
(1996:23) menjelaskan bahwa manusia mengada dengan kesadaran terhadap dirinya
sendiri. Keberadaan
manusia berbeda dengan keberadaan dengan benda-benda yang lain. Asas pertama dalam paham Eksistensialisme menjelaskan
bahwa manusia adalah bagaimana dia menjadi dirinya sendiri.
Dengan asas ini, masing-masing
individu menyadari dirinya sendiri sebagai manusia yang harus membuat dirinya
sendiri ada maka seorang seorang pengajar atau pendidik dan juga murid atau
mahapeserta didik akan dapat memperlakukan dirinya sendiri
sebagaimana mestinya. Setiap individu akan
berusaha untuk mengoptimalkan potensinya dalam rangka menunjukkan
eksistensinya. Hal ini akan mendasari terjadinya pembelajaran yang “hidup”,
dinamis, dan menyenangkan di ruang kelas. Ruang kelas akan menjadi tempat
bertemunya ide-ide sebagai hasil dari proses eksistensi masing-masing individu
baik guru maupun peserta didik.
Hubungan
Eksistensialisme dengan Pendidikan akan ditinjau dari aspek Tujuan Pendidikan.
Kurikulum, Pembelajaran, Peranan Guru, dan Peran Peserta Didik.
Tujuan Pendidikan
Eksistensialisme
berpendapat bahwa tujuan pendidikan berkaitan dengan proses menumpuk kemampuan
individu menjadi diri sendiri yang sebaik-baiknya. Untuk dapat mengembangkan
potensi, diperlukan pemberian bekal berupa pengalaman yang luas dan komprehensif pada
semua bentuk kehidupan. Kaum eksistensialisme memercayai bahwa ilmu pengetahuan
yang paling utama adalah pengetahuan tentang kondisi manusia. maka dari itu,
penting untuk merancang tujuan yang dapat mengembangkan kesadaran dalam
memilih.
Satre
berpendapat bahwa kebebasan membawa suatu yang
bertanggung jawab. Namun, kebebasan manusia bagaimanapun dibatasi oleh fakta
akan kebebasan orang lain. Jadi, ketika kita memutuskan pilihan dan bertindak
atas pilihan tersebut maka sebetulnya keputusan itu juga menyangkut
kemanusiaan. Untuk itu, tugas pendidikan
adalah untuk membantu peserta didik agar memahami peran dan tanggung jawabnya
terhadap terhadap kehidupannya sendiri, keputusannya sendiri yang faktanya
penuh tanggung jawab karena kebebasannya ternyata berhadapan dengan orang lain.
Pendidikan diharapkan dapat membantu mempersiapkan
peserta didik untuk menciptakan makna dirinya sendiri dan dapat melakukan
sesuatu agar dirinya bermakna untuk dirinya sendiri dan kemanusiaan sehingga
tujuan hidupnya dapat tercapai.
Kurikulum
Kaum
Eksistensialisme berpendapat bahwa semua mata pelajaran itu penting. Setiap mata pelajaran
akan menuntun individu untuk menemukan dirinya sendiri berkaitan dengan
eksistensinya. Pada masa keluarnya paham ini, mata pelajaran yang dianggap
dapat menuntun peserta didik sebagaimana yang dimaksud adalah IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Peserta
Didik akan berkenalan dengan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan
pemikir termasyur, memahami manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan,
kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati melalui mata pelajaran tersebut.
Pengetahuan
tentang diri pribadi yang otonom dan bersifat individual diperoleh seseorang
seperti halnya kemampuan yang didapatnya untuk bekerja dan memecahkan
permasalahan-permasalahan dalam berhadapan dengan dunia dan orang lain. Dengan
demikian, pendidikan dalam kelas yang eksistensialis bertujuan untuk membantu
manusia agar dapat menyelesaikan proyek-proyek individual, menerima
kebebasannya dan kenyataan serta meyakini bahwa dirinya adalah manusia yang
unik. Kelas seperti ini juga merupakan kelas yang kreatif karena masing-masing
individu dapat mengekspresikan dirinya secara bebas sepenuhnya dan juga saling
menghargai. Selain itu, karena belajar merupakan penggalian dan penemuan makna
personal yang otonom, maka proses belajar bagi kaum eksistensialis juga
dilakukan secara personal.
Kurikulum
eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni.
Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan introspeksi
dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta
memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang
disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa peserta
didik ke dalam hidup yang sebenarnya. Maka, kurikulum untuk kelas dalam paham eksistensialisme adalah kurikulum
yang memberikan keleluasan bagi peserta didik untuk memilih dan sehingga
kurikulum tersebut seharusnya fleksibel.
Proses Pembelajaran
Manusia,
menurut eksistensialisme, memahami dirinya sendiri sebagai individu yang unik
dan dapat belajar hidup secara otentik. Otentik dalam hal ini merupakan proses
memahami diri sendiri, menerima, dan bertanggung jawab terhadap hidupnya dan
kesadaran untuk mencapai tujuan di masa depan. Manusia berhak secara bebas
untuk mendefinisikan dirinya sendiri secara individual (Sunarso, 2010). Belajar
adalah menjadikan dirinya sendiri otonom dan menyadari adanya orang lain
sehingga dapat menciptakan dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi
kehidupan orang lain atau lingkungannya. Belajar menurut pandangan
eksistensialisme adalah mengkonstruksi makna dunia (individu dan juga dunia
sekitar) yang diperoleh seseorang melalui berbagai pengalaman. Untuk itu, semua
orang harus belajar (melalui pendidikan formal ataupun non formal) agar semua
orang dapat membangun makna bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Jika
demikian maka civil society atau masyarakat madani yang dicita-citakan dapat
terwujud.
Dalam proses
belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk
menjadikan hubungan antara guru dengan peserta didik sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan kepada peserta didik harus menjadi bagian dari
pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan peserta
didik sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan
guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada peserta didik yang tidak
dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya
sendiri.
Peranan Guru
Guru
menurut pandangan eksistensialisme harus dapat menciptakan atmosfer belajar
yang kondusif dan mendukung agar semua peserta didik dapat belajar
secara optimal untuk menemukan keotentikan mereka masing-masing (Sunarso, 2010). Di dalam kelas eksistensialis, guru hendaknya
menekankan bahwa kesalahanpun mempunyai nilai yang bermakna dalam kehidupan
seseorang. Membuat
kesalahan adalah bagian esensial dalam proses belajar bagi manusia. Guru
bertugas untuk memberikan pengertian kepada peserta didiknya terhadap kesalahan
yang dilakukan muridnya sehingga peserta didik tersebut menyadari dan mengerti
kekeliruannya dan kemudian dapat memilih langkah yang lebih tepat bagi dirinya
sendiri. Di dalam ruang kelas yang seperti ini, maka hubungan guru dan murid
akan lebih mendalam, bersahabat dan personal karena tidak ada ketegangan dan
juga tidak ada sikap saling permusuhan, serta saling memahami dan penuh
tanggung jawab.
Peran Peserta Didik
Peserta didik harus diberi kebebasan untuk menjadikan
dirinya sendiri ada, menentukan pilihan, dan bertanggung jawab terhadap
pilihan-pilihannya (Sunarso, 2010). Untuk itu, peserta didik berhak memilih mata pelajaran
yang disenangi. Peserta didik menurut eksistensialisme merujuk pada siswa yang
paham akan kemampuan diri sendiri. Hal ini akan lebih mudah bagi peserta didik
memilih tujuan hidupnya ke depan. Maka dari itu, penting bagi peserta didik
untuk berkenalan dengan mata pelajaran secara umum untuk dapat menentukan
pilihannya.
REFERENSI
Sartre, J.-P.
(1996). L’Existentialisme est un humanisme. Paris: Gallimard.
Sunarso. (2010). Mengenal Filsafat Eksistensialisme Jean
Paul Sartre serta Implikasinya dalam Pendidikan. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.21831/informasi.v1i1.5659
Comments
Post a Comment