FILSAFAT PERENIALISME
2.1.1
Pengertian Filsafat Perenialisme
Istilah perenialisme berasal dari
Bahasa latin, yaitu
dari akar kata perenis atau prenial (Bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus
melalui waktu, hidup terus
dari waktu ke waktu atau abadi. Maka, paham ini memandang bahwa terdapat nilai
dan norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Paham ini juga memandang
bahwa pola perkembangan zaman merupakan
pengulangan dari apa yang terjadi sebelumnya
sehingga sering pula disebut sebagai tradisionalisme (HW.
Gandhi, 2017). Hal yang
sama juga dijelaskan dalam (Djumransyah,
2004) bahwa perenialisme
berasal dari kata perennial yang bermakna sebagai continuing throughout the whole year
atau lasting for a very long time yang intinya adalah berarti abadi
atau kekal dan dapat pula berarti
tidak berakhir. Dengan demikian, kepercayaan filsafat
perenialisme berpegang pada
nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi.
Asas yang dianut perenialisme bersumber pada
filsafat kebudayaan yang terkiblat dua, yaitu (a) perenialisme yang teologis– bernaung
dibawah supremasi gereja katolik. Dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas – dan (b)
perenialisme sekuler berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles (HW.
Gandhi, 2017).
Filsafat
perenialisme dipengaruhi oleh tiga tokoh utama yaitu Plato, Aristoteles dan St.
Thomas Aquinas (Hafid, 2015; Latifah, 2016). Dalam hal ini pokok
pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi
daripada hukum universal. Maka tujuan utama pendidikan adalah “ membina
pemimpin yang sadar dan mempraktekan asas-asas normatif itu dalam semua aspek
kehidupan.” Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu:
nafsu, kemauan, dan pikiran. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah
“kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi,
dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. St. Thomas Aquinas telah
mengadakan beberapa perubahan sesuai tuntunan agama Kristen tatkala agama itu
datang. Kemudian, lahir apa yang dikenal dengan nama neo thomisme. Tatkala
neo-thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai
ketingkat kebijaksanaan, ia terkenal dengan nama perenialisme. Pandangan-pandangan Thomas Aquinas tersebut berpengaruh besar dalam
lingkungan gereja katolik. Demikian pula pandangan–pandangan aksiomatisblin
seperti yang diutarakan oleh plato dan Arisototeles.
Selain itu, semuanya mendasari filsafat pendidikan perenialisime. Neo-scholastisme atau neo-thomisme ini berusaha
menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad kedua puluh (HW.
Gandhi, 2017).
Filsafat perenialisme
menghendaki manusia kembali pada esensinya sebagai makhluk spiritual. Filsafat
Perennial tidak bermaksud menafikan keberadaan agama formal
sama sekali. Pandangan filsafat
perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoteric, ada
suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam
nama dan bungkus dalam berbagai bentuk dan simbol (Latifah,
2016).
2.1.2
Pandangan Filsafat Perenialisme terhadap Pendidikan
1) Pandangan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ontologi Filsafat
Perenialisme
Ontologi
perenialisme terdiri dari pengertian-pengertian, seperti benda individual,
esensi, aksiden dan substansi. Perenialisme membedakan realitas dalam
aspek-aspek perwujudannya dalam tipologi istilah ini.
a.
Benda individual di sini
adalah benda sebagaimana tampak dihadapan manusia dan dapat ditangkap panca indra seperti batu,
lembu, rumput, orang dalam bentuk ukuran, warna dan aktivitas tertentu.
b.
Esensi adalah suatu
kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrintik daripada
halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir
c.
aksiden selalu dimaknai
sebagai keadaan-keadaan khusus yang berubah-ubah dan dipandang bersifat kurang
penting jika dibandingkan dengan esensinya. Misalnya, orang suka barang-barang
antic.
d.
Substansi adalah suatu
kesatuan dari
tiap-tiap hal individu dari yang khas dan universal, yang material dan yang
spiritual.
e.
Menurut plato, perjalanan
suatu benda dalam fisika menerangkan ada empat kausa:
·
Kausa materialis, yaitu
bahan yang menjadi susunan sesuatu benda. Misalnya telur, tepung, dan gula
untuk roti
·
Kausa formalis, yaitu
sesuatu dipandang dari bentuknya atau modelnya. Misalnya, bulat, gepeng dan lain-lain
·
Kausa efisien, yaitu
gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa-gesa
·
Kausa finalis, yaitu
tujuan atau akhir dari sesuatu. Misalnya tujuan pembuatan sebuah patung.
Epistemologis Filsafat
Perenialisme
Perenialisme berpandangan bahwa
segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang
terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang yang mmenunjukkan kesesuain
antara pikiran dan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah hal-hal
yang adanya bersendikan prinsip-prinsip keabadian.
Ini berarti bahwa perhatian mengenai
kebenaran adalah perhatian mengenai
esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindungi
apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan
itu merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal
pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme, filsafat yang
tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab sains sebagai ilmu pengetahuan
menggunakan metode induktif yang bersifat analisis empiris kebenarannya
terbatas, relative atau kebenaran probabilitas. Akan tetapi, filsafat dengan
metode deduktif bersifat analogical
analysis, kebenaran yang dihasilkan bersifat self evidence universal.
Ia berjalan dengan hukum-hukum berpikir
sendiri yang berpangkal pada hukum
pertama, yaitu kesimpulannya bersifat mutlak asasi. Oleh karena itu, menurut
perenialisme, perlu adanya
dalil-dalil yang logis, nalar sehingga sulit diubah dan ditolak kebenarannya,
seperti pada prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Arsitoteles.
Aksiologi
Filsafat Perenialisme
Filsafat
Perenialisme memandang masalah
nilai berdasarkan asas-asas supernatural, dimana paham ini menerima nilai sebagai suatu yang universal dan abadi.
Dengan asas seperti itu, tidak hanya
ontologi dan epistemologi
yang didasarkan atas prinsip
teologi dan supernatural, tetapi
juga aksiologinya. Khususnya, dalam tingkah laku manusia, manusia sebagai
subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai
dengan kodratnya. Di samping
itu, ada pula kecenderungan dan
dorongan-dorongan ke arah yang
tidak baik. Masalah
nilai merupakan hal yang
utama dalam perenialisme karena
berdasarkan pada asas-asas supernatural,
yaitu universal yang abadi,
khususnya tingkah laku manusia.
Jadi hakikat manusia
itu yang pertama-tama adalah
jiwanya (Triana
Habsari, 2013).
Perenialisme melihat akibat atau ujung dari
kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis diberbagai bidang
kehidupan manusia (Djumransyah,
2004; HW. Gandhi, 2017).
Sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut, maka aliran ini memberikan
konsep jalan keluar yaitu regressive road
cultural yakni kembali atau mundur kepada kebudayaan masa lampau yang masih
ideal. Karena itu, perenialisme masih memandang penting terhadap peranan
pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia sekarang kepada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan telah teruji kebenarannya
dalam menahan arus cultural log (keterbelakangan
kultural). Paham
ini bukan lah paham dengan maksud untuk bernostalgia tetapi paham ini bermaksud
untuk mengembalikan manusia kepada nilai asasi masa silam yang diperlukan untuk
kehidupan abad cybernetic ini (Djumransyah,
2004). Prennialisme
berpendapat bahwa untuk mengatasi gangguan kebudayaan diperlukan usaha untuk
menemukan dan mengamankan lingkungan sosiokultural, intelektual dan moral.
Inilah yang menjadi tugas filsafat dan filsafat pendidikan (Djumransyah,
2004).
Adapun jalan keluar yang ditempuh
adalah dengan cara
regresif, yakni kembali kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar
tingkah pada zaman kuno dan abad pertengahan. Prinsip umum yang ideal itu
berhubungan dengan nilai ilmu pengetahuan, realita dan moral yang mempunyai
peranan penting dalam keberhasilan pembangunan kebudayaan di suatu tempat.
Prinsip yang bersifat aksiomatis ini tidak terikat waktu dan tetap berlaku dalam perjalanan
sejarah (Djumransyah,
2004).
Perenialisme memandang bahwa
pendidikan sebagai jalan kembali, yaitu
sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang pada kebudayaan masa lampau yang telah
teruji. Perenialisme merupakan aliran filsafat yang mendasarkan pada kesatuan
bukan mencerai-beraikan; menemukan persamaan-persamaan, bukan membanding-bandingkan; serta
memahami isi, bukan melihat
uar atas berbagai aliran dan
pemikiran. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa perenialisme merupakan filsafat
yang susunannya mempunyai kesatuan. Susunan tersebut merupakan hasil pikiran yang
memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus
Paham perenialisme
sebagai suatu paham dalam memandang pengetahuan memiliki implikasi dalam
perkembangan sistem pendidikan. Berikut dijabarkan beberapa implikasi aliran
ini dalam bidang pendidikan menurut (HW.
Gandhi, 2017).
Tujuan Pendidikan
Bagi perenialis, nilai-nilai bersifat
universal dan abadi. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Oleh karena
itu, tujuan pendidikan adalah
membantu peserta didik menyiapkan dan menginternalisasi nilai-nilai kebenaran
yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan. Sekolah pada dasarnya
adalah sebuah tatanan artifisial (buatan) yaitu tempat intelek-intelek yang
belum matang berkenalan dengan capaian-capain terbesar manusia. Sekolah seperti
pandangan progresivis bukanlah miniatur masyarakat yang lebih luas. Kehidupan
manusia dalam pengertian utuhnya dapat dijalani hanya setelah aspek rasional
manusia dikembangkan.
Sekolah
Sekolah adalah institusi khusus yang
berupaya mencapai misi yang amat penting. Sekolah tidak terlalu berkepentingan
dengan persoalan semacam pekerjaan, hiburan dan rekreasi manusia. Ketiga hal
tersebut mempunyai
tempat dalam kehidupan manusia tetapi berada di luar lingkup aktivitas
pendidikan.
Sekolah
merupakan tempat latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu
waktu akan meneruskannya pada generasi pelajar baru. Sekolah adalah lembaga
yang berperan mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke dalam kehidupan.
Kurikulum
Kurikulum
pendidikan bersifat subject centered.
Berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat seragam,
universal dan abadi. Selain itu, materi pelajaran terutama harus terarah kepada
pembentukan rasionalitas manusia sebab demikianlah hakikat manusia. Mata
pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah
mata pelajaran
yang mempunyai “rational Content” yang lebih besar. Oleh karena itu, titik
berat kurikulum dipusatkan pada pelajaran sastra, matematika, sains, Bahasa dan
humaniora termasuk sejarah (HW.
Gandhi, 2017).
Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan :
- Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang
berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar dimanapun
juga. Kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu
- Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada
gagasan–gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan-gagasan
pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan
- Pendidikan harus menstimulus para mahasiswa untuk berpikir secara
mendalam mengenai gagasan – gagasan signifikan. Para guru harus
menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metoda pokok mereka,
dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa
Metode pendidikan
Metode
pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu
membaca dan mendiskusikan karya-karya terutama yang tertuang dalam the greats book dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
Teori dasar dalam
belajar menurut Perenialisme terutama:
a.
Mental dicipline sebagai teori dasar
b.
Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
c.
Leraning to Reason (belajar untuk
berpikir)
d.
Belajar sebagai persiapan hidup
e. Learning through teaching
Guru dan Peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara
dunia dan jiwa anak, melainkan guru sebagai “murid” yang mengalami proses
belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery. Ia juga melakukan moral authority (otoritas moral) atas
murid-muridnya. Guru harus memiliki aktualisasi yang lebih, dan pengetahuan
yang sempurna.
Murid dalam aliran perenialisme
merupakan makhluk
yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran
mengangkat dunia biologis. Hakikat pendidikan adalah upaya proses transformasi
pengetahuan dan nilai pada peserta
didik. Mencangkup totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan
kritis, terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Pendidikan bertujuan
mencapai tujuan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui
latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera, karena
itu pendidikan harus mencangkup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya.
Tuntutan tertinggi dalam belajar
menurut perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Menurut perenialisme
latihan dan pembinaan berpikir adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam
belajar, karena program pada umumnya dipusatkan kepada kemampuan berpikir. Asas
berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas
berfikir harus disempurnakan sesempurna mungkin, dan makna pendidikan hendaknya
membantu manusia untuk dirinya sendiri yang membedakanya dari makhluk yang lain. Fungsi
belajar harus diabdikan bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai
makhluk rasional yang bersifat merdeka.
REFERENSI
Djumransyah, M. (2004). Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang:
Bayumedia Publishing.
Hafid, S., A. (2015). Pemikiran
Essensialisme, Eksistensialisme,
Perenialisme, dan Pragmatisme Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Al-Asas, Vol III,
No (1), 165–178.
HW. Gandhi, T. W. (2017). Filsafat
Pendidikan: Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: AR-Ruzz Media.
Latifah, T. (2016). Perenialisme. Tsarwah,
Vol. 1 No.1, 85–94.
Triana Habsari, N. (2013). Implementasi
Filsafat Perenialisme Dalam Pembelajaran Sejarah. AGASTYA: JURNAL SEJARAH
DAN PEMBELAJARANNYA, 3(01). https://doi.org/10.25273/ajsp.v3i01.908
Comments
Post a Comment